Tinta Ungu

Majalah Online Psikologi UIN Bandung

“KAMPUS BERBANDING LURUS”

Oleh : putra_lnz@yahoo.co.id

Gambar

Deru mesin truk menggema memecahkan kesunyian pagi, lalu-lalang pekerja mengangkut berbagai material bangunan seperti lebah pekerja yang sedang membangun sarang. Semakin beranjak siang semakin bertambah pula keramain itu, mesin yang menderu bukan hanya mesin truk tapi mesin yang lain juga seperti mesin diesel, pompa air, dan crane.

Beberapa pekerja, tepatnya 3 orang pekerja, sambil membengkokan besi untuk rangka bangunan mereka terlibat dalam sebuah percakapan serius tapi santai.

Maman       : “Sudah 2 setengah tahun kita kerja disini, membangun gedung-gedung nan megah tapi hati nuraniku berkata ada sesuatu yang salah.”

Ahmad        : “Iya, tapi apanya yang salah man?”

Maman      : “Pokoknya ada, tapi aku tidak bisa mengungkapkannya secara gamblang. Coba kamu rasakan saja suasana kerja disini.”

Ahmad        : “Hemmm….iya juga sih, aku merasa otoritas institusi ini terlalu memaksakan menggunakan bangunan yang sebenarnya belum layak pakai. Aku tidak mengerti apa yang ada di pikiran mereka, padahal mereka setiap hari berkutat dengan berbagai teori tentang kenyamanan, hak dan kewajiban, dan berbagai faktor yang mempengaruhi proses belajar.”

Kodir           : “Sudahlah, peduli amat dengan semua itu yang penting kita kerja kita dibayar gak usah mikir terlalu idealis, anak saya juga belajar disini dia tidak pernah mengeluh seperti kalian.”

Maman      : “Iya, aku juga ngerti dir inikan cuma pendapat pribadi dan aku juga mengerti segala sesuatu berbanding lurus, antara yang diberikan dan diterima pasti seimbang.”

Kodir           : “Baguslah kalau begitu, memang biayanya murah tapi aku yakin tidak berarti kualitasnya murahan.”

Ahmad        : “Sudah…sudah…cepet kerja lagi, ada mandor tuh.”

Mereka bertiga kembali kepekerjaanya masing-masing.

Ditengah deru berbagai mesin kini muncul suara-suara baru, suara orang-orang yang mulai memenuhi area kampus. Suara mulut mereka, suara derap langkah kaki mereka, suara mesin kendaraan mereka, dan bahkan suara kentut mereka seukuran 40 desibel terdengar begitu indah. Langkah kaki dan gesekan roda kendaraan ditambah tiupan angin yang berubah-ubah, kadang kuat kadang lemah, menggerakan debu ke udara memenuhi setiap ruang kosong di antara berbagai benda yang diam dan bergerak, sepertinya mereka sangat bahagia bisa terbang dengan bebas tanpa ada hambatan dari musuh besar mereka, sang air.

Jam tangan di pergelangan Andi menunjukan pukul 07.04, Andi baru sampai di gerbang usang berkarat dengan wajah terlihat begitu cemas. “Aduh telat nih, mana toleransi telat hanya 10 menit kalau begitu aku harus lari mengalahkan kecepatan Usain Bolt”, keluh Andi. Dengan semangat seorang sprinter dia berlari menembus badai debu, melewati orang-orang, melompati tonjolan tembok dan batu berbentuk abstrak karena jarak antara gerbang dan kelasnya cukup jauh, sekitar 300 meter. “Huh…hah…hoh…masih ada waktu semenit lagi, cuman 4 tangga aku libas saja”, dengan peluh membasahi wajahnya Andi ucapkan kalimat yang bisa meredam kecemasan.

Andi            : “Assalamualaikum ! saya boleh masuk pak ?”

Dosen         : “Boleh, masih ada waktu 3 detik lagi.”

Andi            : “Makasih pak”, dengan wajah sumringah Andi menuju kursi belakang.

Mata kuliah pagi ini merupakan mata kuliah yang cukup membuat otak Andi harus bekerja keras, bukan karena dosennya yang super disiplin tapi karena buku pengantarnya berbahasa inggris.

Dosen         : “Karena kamu datang paling akhir maka sekarang kamu jelaskan materi BAB II tentang application of statistic in social research.”

Andi            : “Aduh…sialan mana aku belum baca lagi, mau baca juga gak ngerti”, Gerutu andi dalam hati.

Dosen         : “Kenapa di ? ayo cepet jelasin !.”

Andi            : “I…i…iya pak. Jadi BAB ini menjelaskan tentang ..bla…bla…bla contoh penerapannya adalah dalam analisis data untuk penelitian hubungan antara kampus setengah jadi dengan interaksi sosial antar mahasiswa.”

Dosen         : “Hemm….cukup bagus, masa udah ngulang ke 2 kali masih belum bisa juga.”

Memang banyak mahasiswa yang entah kenapa begitu takut dengan bahasa inggris padahal setiap hari mereka menemukan banyak kata bahasa inggris contohnya iklan di tv “talk less do more !.”

Tepat pukul 08.40 kuliah berakhir seluruh mahasiswa keluar dari kelas layaknya terbebas dari penjara, begitupun Andi ia bergegas keluar bersama tiga temanya ada Rini, Zahra, dan Ragil. Mereka berempat berjalan beriringan menyusuri lorong gedung fakultas menuju pintu keluar, beberapa mahasiswa juga terlihat berjalan bergerombal sambil ngobrol berbagai macam hal.

Rini             : “Sekarang kita kemana guys ?”

Zahra          : “Kita jajan gorengan dulu lalu nongkrong dibawah pohon !”

Andi            : “Kalau jajanya sih aku setuju tapi nongkrongnya enggak secara masa kita nongkrong ditempat yang penuh sesak dengan orang dan paling aku benci banyak debunya.”

Ragil           : “Aku juga gak setuju mending kita nonton tv aja di kosan aku”

Rini, Zahra, Andi : “Setuju !!!”

Akhirnya mereka berempat memutuskan setelah jajan langsung menuju kosan Ragil karena memang di area kampus minim sekali tempat nongkrong yang nyaman, kalau adapun itu pasti penuh dan tiba-tiba bisa datang gangguan seperti angin besar peniup debu. Banyak mahasiswa yang mengeluh dengan kondisi ini, namun apa daya mahasiwa mayoritas dari mereka hanya bisa mengeluh dan hanya beberapa orang saja yang berani secara frontal menyampaikan keluh kesahnya kepada pihak yang berkuasa. Begitupun dengan empat sekawan ini meskipun berbada cara menyikapinya tetapi mereka memilki pandangan yang sama tentang kondisi kampus.

Andi            : “Ra kemarin kamu sakit apa sih ?, kok gak kuliah.”

Zahra          : “Demam, menurut dokter sih karena ada infeksi di saluran pernafasan, terlalu sering menghirup udara berpolusi.”

Andi            : “Yang bener ???, tiap hari aku ngehirup debu kampus, bisa sakit dong ???”

Zahra          : “Cius lah, makanya mulai sekarang pake masker kalau di kampus.”

Rini             : “Bener juga sih kemarin aku sempet nonton di Trans 7.”

Ragil           : “Kalau gitu masalahnya makin banyak dong, udah mah gak ada tempat nongkrong yang nyaman, jalanan penuh debu, suara mesin dimana-mana ini ada muncul penyakit gara-gara semua ini.”

Andi            : “Bukan hanya itu bro, liat aja fasilitas kampus yang jauh dari kata ideal. Katanya di fakultas lain ada yang sekelas di isi 50 orang, mau kuliah rebutan ruangan, KRS on line tapi tetep aja off line, dan aku merasakan sendiri gimana capenya bulak-balik ke TU bawa infokus buat kuliah, itu kan harusnya udah terpasang dengan indah di langit-langit kelas.”

Andi            : “Eh…kalau gitu kalian harus ikut aksi bareng temen-temen aku besok, demo gitu…”

Zahra          : “Demo apaan ???”

Andi            : “Demo tentang kondisi kampuslah oon”

Zahra          : “Aku gak ikutan ah, cape banget keliatannya, percuma demo juga kalau nantinya akan tetap begini.”

Andi            : “Kalian berdua gimana ?, mau ikut gak ?”

Ragil           : “Emmm…gimana yah, besok aku ada kuliah jadi kayaknya gak bisa deh.”

Rini             : “Peduli amatlah, yang penting masih bisa kuliah, dapet nilai bagus dan cepet lulus. Tapi sebenarnya aku sebel juga sih.”

Andi            : “Ya sudahlah, minta doanya aja semoga besok bisa sukses. Sekarang kita nonton film korea yuk !”

Rini, Zahra, Ragil : “Yuk !!!!”

Keesokan harinya Andi dan teman-temanya benar-benar berdemo mengkritik keadaan kampus, mereka keliling kampus dan berakhir di depan gedung rektorat.

“Kami menuntut fasilitas dan pelayanan yang layak, bagaiman bisa menghasilkan SDM yang berkualitas kalau fasilitas dan pelayanannya tidak berkualitas”, teriak koordinator aksi lantang.

Leave a comment

Information

This entry was posted on September 25, 2013 by in Uncategorized.